Rabu, 25 Januari 2017

Makalah Pengendalian Nyamuk Aedes



MAKALAH VEKTOR
PENGENDALIAN NYAMUK AEDES
 



Disusun oleh

 


     Nama           :  Fauzan Anditya Hafids        
     NIM             :  P07133115011
     Kelas            :  Regular A/Hiegiene 1
     Semester      :  3

Jurusan Kesehatan Lingkungan
Polteknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta
2016


 

 

KATA PENGANTAR


Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, saya panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ilmiah yang saya beri judul “Pengendalian Nyamuk Aedes”.
            Adapun makalah ilmiah biologi tentang "Pengendalian Nyamuk Aedes" ini telah saya usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari banyak pihak, sehingga dapat memperlancar proses pembuatan makalah ini. Oleh sebab itu, saya juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
            Akhirnya saya mengharapkan semoga dari makalah ilmiah tentang "Pengendalian Nyamuk Aedes" ini dapat diambil manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca. Selain itu, kritik dan saran dari pembaca, saya tunggu untuk perbaikan makalah ini nantinya.

Yogyakarta, 17 November 2016

                                                                                                   Penyusun




.. 1

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Nyamuk (Diptera: Culicidae) merupakan vektor beberapa penyakit baik pada hewan maupun manusia. Banyak penyakit pada hewan dan manusia dalam penularannya mutlak memerlukan peran nyamuk sebagai vektor dari agen penyakitnya. Salah satu penyakit yang mempunyai vektor nyamuk adalah Demam Berdarah Dengue.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan lingkungan yang cenderung meningkat jumlah penderita dan semakin luas daerah penyebarannya, sejalan dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Penyakit demam yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti selain demam berdarah dengue (Dengue Hemorrhagic Fever) adalah demam dengue (Dengue Fever) yang dikenal sebagai Cikungunya (Break Bone Fever) di Indonesia (Supartha, 2008). Aedes aegypti lebih berperan dalam penularan penyakit ini, karena hidupnya di dalam dan di sekitar rumah, sedangkan Aedes albopictus di kebun, sehingga lebih jarang kontak dengan manusia. Menurut WHO tahun 2006, Indonesia pernah mengalami kasus terbesar (53%) DBD pada tahun 2005 di Asia Tenggara yaitu 95.270 kasus dan kematian 1.298 orang (CFR = 1,36 %).
Nyamuk Aedes aegypti dianggap sebagai salah satu spesies vektor nyamuk yang paling penting di dunia karena mempunyai kerentanan yang tinggi terhadap infeksi virus. Hal tersebut menyebabkan Aedes aegypti dapat menimbulkan penyakit epidemi pada manusia, termasuk demam berdarah, chikungunya, dan demam kuning. Khususnya, nyamuk spesies ini dianggap sebagai vektor utama penyebab terjadinya penyakit demam berdarah dengue (DBD) (Saifur et al., 2012).
Berbagai upaya pengendalian vektor DBD telah dilakukan akan tetapi belum mampu menurunkan angka kejadian demam berdarah di masyarakat . Hasil beberapa penelitian menunjukkan adanya resistensi nyamuk Ae.aegypti terhadap insektisida dan penemuan trans ovari, sehingga semakin kompleks permasalahan upaya pengendalian vektor DBD. Program pengendalian Aedes sp. di berbagai negara termasuk Indonesia pada umumnya kurang berhasil, karena hampir sepenuhnya bergantung pada pengasapan (fogging) untuk membunuh nyamuk dewasa. Hal ini membutuhkan biaya besar (5 milyar per tahun), menimbulkan resistensi vektor akibat dosis yang tidak tepat, dan tidak berdampak panjang karena jentik nyamuk tidak mati (Baskoro T, 2007). Beberapa penelitian juga telah melaporkan resistensi Ae. aegypti terhadap beberapa insektisida seperti organofosfat, malathion, Allethrin, Permethrin, dan Cypermethrin (Astari S, 2005).
Salah satu metode pengendalian Aedes aegypti tanpa insektisida yang berhasil menurunkan densitas vektor dibeberapa negara adalah penggunaan perangkap telur (ovitrap). Alat ini dikembangkan pertama kali oleh Fay dan Eliason (1966), kemudian digunakan oleh Central for Diseases Control and Prevention (CDC) dalam surveilans Ae. aegypti. Modifikasi ovitrap dengan menambahkan zat atraktan terbukti dapat meningkatkan jumlah telur yang terperangkap (Polson et al., 2002).




B. Rumusan Masalah

1.   Bagaimana morfologi nyamuk Aedes aegypti ?
2.   Bagaimana siklus hidup nyamuk Aedes aegypti ?
3.   Bagaimana cara pengendalian nyamuk Aedes aegypti ?

C.    Tujuan

1.      Mengetahui kelebihan dan kekurangan pengendalian nyamuk Aedes aegypti.
2.      Mengetahui siklus hidup dan morfologi nyamuk Aedes aegypti.



BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Klasifikasi ilmiah dari nyamuk Aedes aegypti

1.      Kerajaan                : Animalia
2.      Filum                     : Arthropoda
3.      Kelas                     : Insecta
4.      Ordo                      : Diptera
5.      Famili                    : Culicidae
6.      Genus                    : Aedes
7.      Upagenus              : Stegomyia
8.      Spesies                  : Aedes aegypti

B.     Morfologi nyamuk

1.      Telur
Telur Aedes aegypti berukuran 0,5 – 0,8 mm, berwarna hitam, bulat panjang dan berbentuk oval. Di alam bebas, telur nyamuk terdapat pada air dan menempel pada dinding wadah atau tempat perindukan nyamuk sejauh kurang lebih 2,5 cm. Setiap kali bertelur nyamuk betina mengeluarkan telur sebanyak 100 butir perhari apabila berada pada tempat yang kering (tanpa air). Telur nyamuk Ae. aegypti di alam tidak mudah dilihat/tidak nampak dengan jelas, dikarenakan telur-telur ini menempel pada dinding bejana. Tetapi akan tampak lebih jelas bila telur menempel pada "ovitrap" yang terbuat dan kain dan dilihat dibawah sinar yang terang.


2.      Larva
Nyamuk Aedes aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu- bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Jentik ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami empat kali pergantian kulit (tingkatan) yang biasa disebut instar dan terdiri dari instar I, II, III, IV. Jentik instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1 – 2 mm, duri- duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernafasan (siphon) belum menghitam. Jentik instar II bertambah besar, ukuraan 2,5 – 3,9 mm, duri dada belum jelas, dan corong pernafasan sudah berwarna hitam. Jentik instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax),dan perut (abdomen).
Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena tanpa duri- duri, dan alat- alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak paling besar dan terdapat bulu- bulu simetris. Perut tersusun atas delapan ruas. Pada ruas perut kedelapan, ada alat untuk bernafas yang disebut corong. Corong pernafasan tanpa duri- duri, berwarna hitam dan ada seberkas bulu- bulu (tuft). Ruas kedelapan juga dilengkapi dengan seberkas bulu- bulu sikat (brush) dibagian ventral dan gigi- gigi sisir (comb) yang berjumlah 15 – 19 gigi yang tersusun dalam satu baris.
Gigi- gigi sisir dengan lekukan yang jelas membentuk gerigi. Jentik ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif, waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan air.
Larva/jentik nyamuk Ae.aegypti lebih senang hidup pada air jernih seperti air dalam pot bunga dan bak mandi tetapi tidak begitu senang pada penampung air seperti bak meteran PAM sekalipun airnya jernih, ternyata pada tempat seperti ini lebih sering ditemukan larva/jentik dari nyamuk culex. Sepintas bentuk luar jentik sukar untuk dibedakan dengan jentik-jentik lain yang ditemukan, bagi yang sudah ahli ukuran, warna serta gerakkannya dapat dipakai untuk mengidentifikasi larva tersebut. Sebab jentik Aedes lebih kecil dan lebih transparan bila dibandingkan dengan jentik culex.
3.      Pupa
Pupa nyamuk Aedes aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala - dada (chepalothorax) lebih besar apabila dibandingkan dengan besar perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca “koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat bernafas seperti terompet. Pada ruas perut kedelapan terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu di nomor tujuh pada ruas kedelapan tidak bercabang. Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan dengan jentik. Waktu istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaaan air.

4.      Nyamuk Dewasa
Nyamuk Aedes aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian yaitu kepala, dada dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk/pengisap dan termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan nyamuk jantan bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, karena itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus). Nyamuk betina mempunyai antena tipe pilose.
Dada nyamuk ini tersusun dari tiga ruas porothorax, mesothorax dan metathorax. Setiap ruas dada terdapat sepasang kaki yang terdiri dari femur (paha), tibia (betis), dan tarsus (tampak). Pada ruas- ruas kaki terdapat gelang- gelang putih, tetapi pada bagian tibia kaki belakang tidak ada gelang putih. Pada bagian dada juga terdapat sepasang sayap tanpa noda- noda hitam. Bagian punggung (mesontuim) ada gambaran garis- garis putih yang dapat dipakai untuk membedakan dengan jenis lain. Gambaran punggung nyamuk Aedes aegypti berupa sepasang garis lengkung putih pada tepinya dan sepasang garis submedian di tengahnya.
Perut terdiri dari 8 ruas dan pada ruas- ruas tersebut terdapat bintik- bintik putih. Waktu istirahat posisi nyamuk Aedes aegypti ini tubuhnya sejajar dengan bidang permukaan yang dihinggapinya. Nyamuk Ae. aegypti (dewasa) sangat berbeda dengan nyamuk jenis lainnya, sebab warna dari nyamuk ini lebih hitam bila dibandingkan warna nyamuk jenis lain, misalnya culex. Dan bisa diketahui dengan cepat dari kaki belakangnya. Dimana kaki belakang nyamuk ini jelas sekali belang hitam putih. Dari pengalaman pengamatan, populasi nyamuk ini tidak begitu padat, bila dibandingkan dengan nyamuk culex, walaupun di daerah itu endemis DBD. Sekalipun nyamuk ini tergolong "gesit" tapi sering hinggap pada umpan manusia.

C.    Perilaku Nyamuk Aedes aegypti

Aedes aegypti bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Hal itu dilakukannya untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk memproduksi dan mematangkan telur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan. Jenis ini menyenangi area yang gelap dan benda-benda berwarna hitam atau merah.
Infeksi virus dalam tubuh nyamuk dapat mengakibatkan perubahan perilaku yang mengarah pada peningkatan kompetensi vektor, yaitu kemampuan nyamuk menyebarkan virus. Infeksi virus dapat mengakibatkan nyamuk kurang handal dalam mengisap darah, berulang kali menusukkan proboscisnya, namun tidak berhasil mengisap darah sehingga nyamuk berpindah dari satu orang ke orang lain. Akibatnya, risiko penularan virus menjadi semakin besar.
Di Indonesia, nyamuk ini umumnya memiliki habitat di lingkungan perumahan, dimana terdapat banyak genangan air bersih dalam bak mandi ataupun tempayan. Oleh karena itu, jenis ini bersifat urban, bertolak belakang dengan A. albopictus yang cenderung berada di daerah hutan berpohon rimbun (sylvan areas).
Secara bioekologis nyamuk mempunyai dua habitat yaitu aquatic (perairan) untuk fase pradewasanya (telur, larva dan pupa), dan daratan atau udara untuk serangga dewasa. Walaupun habitat nyamuk di daratan atau udara, namun juga mencari tempat di dekat permukaan air untuk meletakkan telurnya. Bila telur yang diletakkan itu tidak mendapat sentuhan air atau kering masih mampu bertahan hidup antara 3 bulan sampai satu tahun.

D.    Perilaku Mencari Darah

1.      Mempunyai perilaku makan yaitu mengisap nectar dan jus tanaman sebagai sumber energinya.
2.      Setelah kawin, nyamuk betina memerlukan darah untuk bertelur.
3.      Nyamuk betina menghisap darah manusia setiap 2 – 3 hari sekali.
4.      Menghisap darah pada pagi hari sampai sore hari, dan lebih suka pada jam 08.00 – 12.00 dan jam 15.00 – 17.00.
5.      Untuk mendapatkan darah yang cukup, nyamuk betina sering menusuk lebih dari satu orang.
6.      Jarak terbang nyamuk sekitar 100 meter.
7.      Umur nyamuk betina dapat mencapai sekitar 1 bulan.
8.       Perilaku Pada Saat Istirahat
9.      Setelah kenyang menghisap darah, nyamuk betina perlu istirahat sekitar 2–3 hari untuk mematangkan telur.
10.  Tempat istirahat yang disukai :
-          Tempat-tempat yang lembab dan kurang terang, seperti kamar mandi, dapur, WC
-          Di dalam rumah seperti baju yang digantung, kelambu, tirai
-          Di luar rumah seperti pada tanaman hias di halaman rumah.

E.     Perilaku Berkembang Biak

             Nyamuk Aedes aegypti bertelur dan berkembang biak di tempat penampungan air bersih seperti tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari ; bak mandi, WC, tempayan, drum air, bak menara (Tower air) yang tidak tertutup, sumur gali, dan lainnya. Wadah yang berisi air bersih atau air hujan, tempat minum burung, vas bunga, pot bunga, ban bekas, potongan bambu yang dapat menampung air, kaleng, botol, tempat pembuangan air di kulkas dan barang bekas lainnya yang dapat menampung air meskipun dalam volume kecil.
             Telur diletakkan menempel pada dinding penampungan air, sedikit di atas permukaan air. Setiap kali bertelur, nyamuk betina dapat mengeluarkan sekitar 100 butir telur dengan ukuran sekitar 0,7 mm per butir. Telur ini di tempat kering (tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan. Telur akan menetas menjadi jentik setelah sekitar 2 hari terendam air. Jentik nyamuk setelah 6 – 8 hari akan tumbuh menjadi pupa nyamuk. Pupa nyamuk masih dapat aktif bergerak didalam air, tetapi tidak makan dan setelah 1– 2 hari akan memunculkan nyamuk Aedes Aegypti yang baru.

F.     Peranannya dalam Kesehatan

Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. Selain dengue, A. aegypti juga merupakan pembawa virus demam kuning (yellow fever) dan chikungunya. Penyebaran jenis ini sangat luas, meliputi hampir semua daerah tropis di seluruh dunia. Sebagai pembawa virus dengue, A. aegypti merupakan pembawa utama (primary vector) dan bersama Aedes albopictus menciptakan siklus persebaran dengue di desa dan kota.

G.    Pengendalian Nyamuk A. aegypti

Cara yang hingga saat ini masih dianggap paling tepat untuk mengendalikan penyebaran penyakit demam berdarah adalah dengan mengendalikan populasi dan penyebaran vektor. Program yang sering dikampanyekan di Indonesia adalah 3M, yaitu menguras, menutup, dan mengubur.
Beberapa cara alternatif pernah dicoba untuk mengendalikan vektor dengue ini, antara lain mengintroduksi musuh alamiahnya yaitu larva nyamuk Toxorhyncites sp. Predator larva Aedes sp. ini ternyata kurang efektif dalam mengurangi penyebaran virus dengue. Penggunaan insektisida yang berlebihan tidak dianjurkan, karena sifatnya yang tidak spesifik sehingga akan membunuh berbagai jenis serangga lain yang bermanfaat secara ekologis. Penggunaan insektisida juga akhirnya memunculkan masalah resistensi serangga sehingga mempersulit penanganan di kemudian hari.
Cara pengendalian secara kimiawi untuk masa pra dewasa (larva atau jentik) dilakukan dengan penaburan bubuk "Abate" pada tempat-tempat yang memungkinkan untuk perindukan, antara lain bak mandi, drum air, tempayan sebagai penampungan air, pot/vas bunga dan lain-lainnya. Tetapi di samping cara tersebut diperkenalkan cara yang lebih aman, murah dan sederhana. Cara ini adalah yang disebut dengan Pembersihan Sarang Nyamuk (PSN). Dalam pelaksanaannya PSN akan melibatkan orang banyak, sehingga menuntut lebih banyak peran serta masyarakat. Yaitu setiap anggota masyarakat harus mengupayakan mengupayakan secara terus menerus agar lingkungannya tidak mungkin menjadi tempat perindukan nyamuk. Antara lain dengan cara membersihkan/ menguras setiap tempat penampungan air setidak-tidaknya satu kali dalam satu minggu.
Sedangkan untuk pengendalian nyamuk dewasa, kiranya sudah lama beredar dan dikenal di masyarakat yaitu dengan cara fogging (dikenal dengan penyemprotan atau pengasapan) menggunakan Malathion. Cara ini hasilnya memang cukup menggembirakan dalam arti dapat menurunkan kepadatan nyamuk, oleh sebab itu cepat mendatangkan ketentraman bagi masyarakat dikarenakan tidak terdengar lagi bunyi nyamuk terbang dan tidak diganggu oleh gigitan nyamuk. Pengasapan biasanya dilakukan baik oleh pihak pemerintah/swasta setelah terjadi kasus demam berdarah. Namun ada beberapa komplek perumahan, atau kelompok pemukiman penduduk yang melakukan penyemprotan secara teratur, sekalipun di daerah tersebut tidak ditemukan kasus DBD. Hal ini dilakukan supaya penduduk terjamin bebas demam berdarah dan berjaga-jaga sebelum terjadi wabah.

 

BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan

Nyamuk Aedes aegypti dianggap sebagai salah satu spesies vektor nyamuk yang paling penting di dunia karena mempunyai kerentanan yang tinggi terhadap infeksi virus. Hal tersebut menyebabkan Aedes aegypti dapat menimbulkan penyakit epidemi pada manusia, termasuk demam berdarah, chikungunya, dan demam kuning. Salah satu metode pengendalian Aedes aegypti tanpa insektisida yang berhasil menurunkan densitas vektor dibeberapa negara adalah penggunaan perangkap telur (ovitrap). Pengendalian vektor nyamuk Ae. Aegypti juga dapat dilakukan dengan menggunakan lingkungan, biologis, maupun secara kimiawi.

B.     Saran

Dalam pengendalian vektor nyamuk disarankan agar  masyarakat dapat melaksanakan metode pengendalian yang secara tepat,yaitu dilakukan pengendalian secara fisik dengan metode PSN (pemberantasan sarang nyamuk) khususnya 3M ,karena  kegiatan tersebut tergolong kegiatan murah dan mudah bagi masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA


Widyastuti, Umi. 2009. “Pengendalian nyamuk Aedes Aegypti menggunakan Mesocydops Aspericornis melalui Partisipasi Masyarakat.” 109. (2), 563-566.

Hasyimi, M. 1993. “Aedes aegypti sebagai Vektor Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Pengamatan di Alam.” 3. (3), 16-18.

Dwi Nugroho, Arif. 2011. “Kemas 7.” (1), 91-96.

Perumalsam, Haribalan. 2009. Larvicidal Activity of Compounds Isolated from Asarum heterotropoides Against Culex Pipiens Pallens, Aedes aegypti, and Ochlerotatus togoi (Diptera: Culicidae). Journal of Medical Entomology, 46(6):1420-1423